Rabu, 28 November 2012

Perjuanganku menembus langit Kampus Perjuangan

Perjuangan yang tak mengenal lelah. Sebuah kalimat yang selalu membayangi ruang reluk hidupku sebagai Motivasi kehidupan. Aku bisa. Dua kata yang selalu orang tuaku terapkan kepada kedua anaknya. Dari kata-kata itulah perjuanganku dimulai. Aku dilahirkan disebuah desa kecil di timur Tasikmalaya. Tasikmalaya tempat aku dilahirkan, dibesarkan, mengenal dan memahami lingkungan, mendapatkan teman, menyukai seseorang lawan jenis, dan semua memori yang tak kan pernah bisa terhapus dari alam bawah sadar ini. Dari TK hingga SD kuhabiskan masa-masa indah itu di kampung halamanku tempatku tumbuh. Sebuah desa kecil di Tasikmalaya, namanya Desa Cibeber. Desa di barat daya Kecamatan Manonjaya. Selama menjalani hidup itu yang kurasa hanya datar, hambar. Mungkin karena memang yang kudapat hingga dinyatakan lulus Sekolah Dasar dalam usia 12, aku hanya tumbuh di lingkungan itu saja. Dalam keadaan itulah sebuah keputusan besar aku ambil. Dalam tawaran orang tua yang ingin memasukanku ke Pesantren akhirnya aku terima tantangan itu, walaupun dengan sedikit keputusan miring. Meski aku menginginkan kembali suasana baru, tapi aku tidak pernah ingin dan tidak pernah sama sekali ada pikiran yang harus membuatku masuk ke sebuah penjara suci itu. Ya, penjara suci. Disinilah perjuangan beratku ku awali. Hari-hari pertama di pesantren itulah sangat berat rasanya. Hidupku yang awalnya aku sendiri yang mengatur, akhirnya harus taat dan tunduk pada aturan yang berlaku. Bayangkan yang biasanya aku bangun shubuh jam lima pagi, disinilah aku harus membiasakan bangun lebih awal. Memang berat rasanya hidup dengan tugas dan kegiatan rutinitas yang sangat padat. Sekitar jam tiga jam empat, kami para santri baru diperkenalkan dengan kehidupan lingkungan pesantren. Kami bangun, beribadah, menghafal Al Qur’an, sholat subuh, menghafal A Qur’an lagi dan setelah menghafal baru bisa sarapan pagi. Itulah rutinitas yang kami lakukan setiap hari. Dalam menghafal Al Qur’an ini adalah tuagas beratku. Aku adalah orang yang malas dengan hafalan. Rasanya sangat sulit untuk bisa menghafal Al Qur’an. Ayat demi ayat yang teman-temanku hafalkan rasanya sangat mudah bagi mereka, tidak sepertiku. Pernah suatu hari aku tidak bisa menghafal beberapa ayat sehingga aku pulang dari mesjid paling akhir. Dan saat setelah pulang dari mesjid aku segera menuju ruang makan karena memang aku sudah sangat lapar. Dan apa yang terjadi, karena aku satu-satunya orang yang pulang paling akhir, akhirnya pagi itu aku tidak mendapatkan jatah sarapan pagi. Apa boleh buat, semua makanan telah habis dibagikan oleh petugas dapur kepada santri yang lain. Akhirnya pagi itu aku tidak mendapatkan sarapan. Aku harus menahan lapar hingga istirahat siang. Perjuanganku tidak begitu saja. Banyak hal yang benar-benar tidak bisa kulupakan saat itu. Mulai dari tidak kebagian makan, mendapat hukuman untuk menghafal sambil berdiri di lapangan, sampai suatu hari aku kehilangan uang sakuku untuk satu minggu. Inilah saat aku mendapatkan cobaan hidup yang berat. Saat orang lain makan dengan lauk yang mereka beli, aku harus ikhlas dengan hanya mendapatkan jatah lauk dari dalam. Itulah memang sesuatu yang harus aku jalani. Untungnya aku masih bisa makan, dan aku masih punya sahabat se asrama yang masih mau berbaik hati menolongku. Kejadian itu tak pernah mau kuceritakan pada orang tuaku. Aku takut orang tuaku khawatir terjadi apa-apa pada anaknya. Hidup di asrama yang masih berlaku senioritas memang berat. Nostalgia ini tidak pernah hilang dari pikiranku. Nostalgia ini tidak pernah bisa kuhapus dari alam bawah sadarku. Tapi biarlah ini menjadi bunga kehidupan yang senantiasa aku bagi pada orang lain sebagai pengalaman yang tidak akan kulupa. Dua tahun menjadi santri memang kurang untuk mendalami ilmu agama. Tetapi setidaknya seberapa kecilpun ilmu yang pernah kupelajari saat itu bisa membawaku pada keselamatan hidup. Ya, hanya dua tahun aku tinggal di pesantren sebelum akhirnya orang tuaku menarikku untuk pindah ke sebuah SMP Negeri di daerahku. Saat SMP inilah aku merasakan betapa besar manfaat yang kudapat sewaktu menjadi santri. Satu tahun di sebuah SMP negeri rasanya kurang cukup untuk mendalami ilmu dunia. Kendati demikian, modal utama yang kudapat sewaktu di pesantren dan SMP inilah yang menjadikan motivasi untukku mendapatkan SMA favorit yang bagus, yang menurtutku bisa membawaku pada kesuksesan. Akhirnya aku memilih sebuah SMA negeri favorit di Tasikmalaya. Sangat berat perjuanganku untuk bisa menjadi bagian dari almamater itu. Dengan banyaknya calon siswa yang mendaftar dan hanya segelintir orang yang diterima, aku berdo’a kepada yang maha kuasa agar aku ditakdirkan menjadi bagian dari almamater SMA negeri itu. Alhamdulillah bersyukur pada tuhan akhirnya aku diterima di SMA pillihanku. Suatu kebanggan dan mendapatkan tanggung jawab yang berta sehingga bisa masuk kesana. Saat SMA inilah aku mulai merasakan untuk bisa mendapatkan dan mengejar jati diri ini. Aku ingin tahu segalanya. Aku ingin bisa seperti idolaku. Saat SMA inilah saat yang kurasa sangat mendebarkan dalam hidupku. Masih hangat ingatanku tentang kenangan dan memori indah yang kudapat di SMA. Mulai dari orientasi, pembagian kelas, mendapat teman baru, mendapat pengalaman baru, guru baru, segalanya serba baru. Tapi disamping itu tanggung jawabku untuk terus belajar adalah tanggung jawab terbesar yang aku dapat. Bagaimana tidak, saat SMA inilah masa transisi dari kita yang masih manja, kita harus bisa menjadi lebih mandiri. Memang, tidak selamanya saat kita merasa bahwa kita paling benar, kita berada dalam kebenaran. Saat itulah terjadi gejolak dalam diri bahwa kita sedang mencari jati diri. Mencari jawaban untuk apa kita diciptakan. Disinilah karakter yang kuat dibentuk. Lingkungan sangat berpengaruh saat itu. Aku yang awalnya memang tidak tau tentang kehidupan yang seperti itu akhirnya aku tahu juga. Aku mengalami perubahan juga. Tapi itu aku jadikan sebagai bumbu kehidupan yang kurasa jika aku tidak menjalaninya, kehidupan ini akan hambar. Perjuanganku untuk menggapai cita-citaku aku mulai. Disinilah para guru selalu berpesan dan selalu memotivasi agar aku lebih bisa berkarya dan menggantungkan cita-cita setinggi mungkin untuk bisa dijadikan cita-cita yang awalnya mimpi itu menjadi kenyataan. Kemana aku harus melangkah? Ya seperti itulah yang aku rasa saat itu. Cita-citaku saat itu adalah menjadi orang yang besar. Dan yang sangat menjadikan obsesi itu adalah cita-citaku menjadi sorang abdi negara di Kepolisian. Jamak mungkin sebagai laki-laki pasti dalam dirinya selalu saja ada cita-cita menjadi seperti itu. Perjuanganku sangat berat. Latihan fisik, mental dan otak juga yang harus selaras dan seimbang guna mencapai suatu keberhasilan. Aku senapt mengalami pembinaan fisik di lingkungan militer. Wahh, rasanya memang sangat menguras tenaga. Tapi itu mungkin bukan jalanku. Cita-citaku untuk menjadi seperti itu sampai sekarang masih ada. Namun, haluanku akhirnya aku putar. Dalam pikiranku kalau saja aku terus menghayal, hanya angan-angan belaka yang akan kudapat. Akhirnya dengan pikiran yang jernih aku pilih Univeristas Indonesia sebagai tempatku mencari ilmu. Perjuanganku untuk sampai kesini tidaklah mudah. Aku beruntung mendapatkan kesempatan untuk mengikuti SNMPTN Undangan. Sangat bahagianya aku dan itulah batu loncatanku untuk bisa menjadi bagian dari keluarga jaket kuning ini. SNMPTN Undangan ini akhirnya menyatakan bahwa aku lulus dan diterima di Universitas Indonesia. Bukan hanya aku yang bahagia dan bangga, orang tuaku dan keluaraku juga merasakan hal yang sama. Dari keluargaku yang bergerak di dunia pendidikan sebagai guru, baru akulah yang bisa sampai ke kampus perjuangan ini. Inilah yang membuat mereka bangga dan sekaligus tuntutan bagiku untuk bisa menjaga kebanggan itu. Jalur masuk ini tidaklah mudah bagiku. Saat yang lain telah sukses dengan undangannya, cobaan justru datang menghampiriku. Verifikasi undangan yang dilakukan pihak Universitas, menyatakan bahwa kelulusanku akan dicabut sehubungan nilai yang ada dipihak mereka berbeda dengan bukti fisik yang aku bawa. Perjuanganku untuk berjaket kuning baru aku rasakan. Setelah sempat bahagia luar biasa karena dinyatakan lulus undangan, kenyataan terbalik saat itu. Aku berkali-kali meluruskan masalah ini dengan pihak universitas namun hanya sekolah yang mempunyai otoritas dalam masalah ini. Akhirnya pihak sekolah mau untuk membantuku meluruskan hal ini. Setelah waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan masalah ini, didapati hasil bahwa aku harus mengikuti ujian pembanding agar aku masih bisa dinyatakan sebagai mahasiswa Universitas Indonesia. Aku berpikir positif bahwa mungkin untuk bisa disini tidak segampang yang ku kira. Aku jalani saja, dan aku hanya berdo’a semoga aku mendapatkan yang terbaik. Aku yaki bahwa tuhanku Alloh Swt., akan memberikan yang terbaik untuk umatnya. Akhirnya aku bisa menjadi bagian dari kampus ini. Kampus kebnggaanku. Dengan perjuangan tadi aku berharap bahwa aku bisa mengemban tanggung jawab dan tidak membuat malu apalagi mengecewakan orang-orang disekitarku. Terutama orang tuaku yang telah memberikan supportnya agar anaknya tetap bisa menimba ilmu disini. Terima kasih Ibu, Ayah, Kakak, Nenek dan semua guru yang telah berkenan untuk membantuku. Semoga pengalamanku bisa menginspirasi orang-orang disekitarku. Ammiin.

0 komentar

Posts a comment

 
© Kang Adli
Designed by Blog Thiết Kế
Back to top